Fraud acconting
Fraud, dalam banyak jenis dan modus,
sudah menjadi permasalahan klasik di dalam aktivitas bisnis, sejak dahulu kala
hingga kini. Begitu banyak contoh kasus fraud yang muncul . salah satunya
saya mengambil contih kasus yang terjadi dalam fraud accounting pada perusahaan
, yaitu terjadinya kasus kredit fiktif pada Bank MANDIRI SYARIAH .
Berikut ini penjabaran kasus yang
terjadi :
Akibat
nila setitik, rusak susu sebelanga. Pepatah itu kini tengah mengancam industri
perbankan syariah. Bagaimana tidak, praktik kecurangan di perbankan yang
biasanya terjadi di bank pinggir kota terjadi pada bank syariah skala nasional?
Banyak orang yang gelenggeleng kepala akibat kejadian ini bukan cuma karena
terjadi di salah satu bank nasional tapi juga di bank syariah.
Baru-baru
ini Bank Syariah Mandiri, harus tertimpa kasus fraud yang boleh dibilang paling
primitif yaitu kredit fiktif dengan memalsukan dokumen-dokumen utama. Karena
kasus itu, anak usaha bank terbesar di Indonesia itu harus menanggung potensi
kerugian yang mencapai Rp102 miliar.
Manajemen
kemudian bergerak cepat dengan mengumumkan kejadian itu kepada publik. Dalam
jumpa pers yang dilakukan Kamis pekan terakhir bulan lalu manajemen BSM
menyatakan kasus penyaluran kredit fiktif di cabang Bogor memang sengaja
dilakukan oleh tiga orang pejabatnya. Indikasi ini ditemukan karena adanya
kejanggalan berupa tidak terjadinya pengerjaan proyek pembangunan perumahan
sebagaimana yang diajukan oleh debitur, tetapi dana tetap dicairkan dengan lancar.
“Ketiganya dengan sengaja tidak mematuhi aturan internal perusahaan,” ujar
Sulistio Konsultan Hukum BSM.
Akibatnya,
perusahaan menyalurkan dana kredit sebesar Rp102 miliar kepada 197 nasabah,
termasuk nasabah fiktif. Namun sampai sekarang yang baru kembali hanya Rp43
miliar. Sisanya, sebesar Rp59 miliar masih dalam pelacakan.
BSM
telah memecat tiga pejabatnya yang telah terbukti terlibat dalam penyaluran
kredit fiktif untuk pembelian lahan dan pembangunan perumahan di kawasan Bogor
itu. Tiga pejabat itu adalah Kepala Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor,
berinisial MA, yang dipecat tertanggal 4 Oktober 2013. Kemudian, Kepala Cabang
Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor berinisial HH tercatat dipecat 1 Desember
2012, dan Accounting Officer Bank Syariah Mandiri Bogor, bernisial JL dipecat
tanggal 1 November 2012. Perbedaan dalam penjatuhan sanksi pemecatan, ada yang
pada 2012 dan 2013 dikarenakan JL dan HH melarikan diri ketika pemeriksaan
internal masih berlangsung.
Tak pelak, kejadian yang terjadi di BSM
cabang Bogor itu mencoreng bank tersebut sekaligus industri bank syariah.
Bagaimana tidak, citra bank syariah sebagai bank yang tidak hanya taat pada
aturan otoritas perbankan tetapi juga otoritas kehidupan ternyata tak cukup
menghindari pegawainya berbuat curang.
Karenanya munculnya risiko reputasi pada
perbankan syariah menjadi tak terhindarkan. Risiko reputasi adalah risiko
akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder antara lain regulator,
nasabah, masyarakat, manajemen bank dan pegawai. Risiko ini bersumber dari
persepsi negatif terhadap bank. Di antara risiko yang dihadapi bank, risiko
reputasi merupakan risiko yang memiliki dampak paling signifikan dan dapat
mempengaruhi keberlangsungan usaha bank.
Modus Kuno
Sebenarnya
apa yang terjadi pada BSM Cabang Bogor tidaklah terlalu istimewa dari sisi
modus, bahkan termasuk modus kuno. Kolusi antara orang dalam dan orang luar
dalam tindak kejahatan perbankan itu sudah menjadi modus umum. Direktur Tindak
Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto
menjelaskan, cairnya kredit perumahan BSM Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bogor
bermula karena terjadinya pertemuan antara pengusaha properti yang bernama
bernisial IP dengan Accounting Officer BSM berinisial JL.
Awalnya
IP hanya berniat mengajukan kredit untuk rumah pribadinya dengan nilai di atas
Rp1 miliar kepada BSM melalui JL. Kemudian terjadilah pertemuan antara IP dan
JL. IP yang memang sudah lama terjun pada bisnis properti, kemudian menemukan
cara untuk mendapatkan dana dari bank tersebut dengan cara curang. Karena
keduanya sudah sering bertemu dan berkomunikasi, IP tidak canggung mengutarakan
niatnya itu kepada JL. Dan mencoba membujuk JL agar mau bekerjasama untuk
merealisasikan niatnya, yaitu membuat kredit fiktif.
Pihak
kepolisian lebih lanjut menjelaskan, memang ada negosiasi antara JL dengan IP
sampai-sampai JP mau terlibat mewujudkan niat IP. Supaya rencana bisa berjalan
dengan benar-benar mulus, IP terlebih dahulu memberikan hadiah kepada pejabat
Bank Syariah Mandiri (BSM) Kantor Cabang Pembantu Bogor. Pemberian inilah yang
diduga menjadi pendorong pejabat BSM berani melanggar prosedur penerimaan
pengajuan kredit perumahan dengan benar. “Ada yang diberi mobil, ada juga yang
mendapatkan uang Rp 3 miliar - Rp 4 miliar,” kata Arief. Setelah itu,
diceritakan, aksi ‘merampok’ bank itu pun dimulai.
IP
kemudian mengajukan pembiayaan pada Juli 2011 hingga Mei 2012 dengan
menggunakan akad mudharabah. Awalnya pengajuan itu untuk pembelian lahan dan
pembangunan perumahan di wilayah Bogor. IP mengajukan 197 nasabah dengan plafon
Rp100 juta sampai Rp 300 juta. Dari 197, ada 113 nasabah fiktif. Berarti hanya
84 nasabah yang asli. Ke 113 identitas nasabah fiktif ini seperti KTP,
persyaratan administrasi, dan data-data semuanya dipalsukan. Kemudian rata-rata
setiap nasabah fiktif dibuat IP mendapat plafon kreditnya sebesar Rp 100 sampai
Rp 200 juta. Kredit fiktif yang diajukan IP bisa berjalan mulus tentu karena
adanya kerjasama dengan orang dalam.
Sampai
pada akhirnya, manajemen BSM menaruh kecurigaan pada laporan KCP BSM Bogor.
Corporate Secretary BSM Taufik Machrus menjelaskan pihaknya mencurigai ada
sesuatu yang tidak beres di kantor cabang itu pada 2012. Kemudian kecurigaan
tersebut ditindaklanjuti dengan diturunkannya direktorat kepatuhan BSM dan tim
audit khusus BSM pusat. Temuan awal sebenarnya bisa dikatakan sederhana. Tim
BSM menemukan adanya dugaan penggelembungan nilai kredit (mark up). “Awalnya
hanya itu, ketika diteliti lebih dalam semua penyaluran pembiayaan yang ada,
ternyata ditemukan penyimpangan. Barulah dilanjuti,” ucap Taufik.
Dia
melanjutkan, setelah yakin adanya tindak pidana, kemudian pihak BSM pusat
melapor ke kepolisian pada 12 September 2013. Pihak BSM mengklaim pengaduan
yang dilakukan merupakan bagian dari penerapan tata kelola perusahaan yang baik
atau good corporate governance (GCG). “Yang pasti pelaporan ini merupakan
inisiatif BSM untuk melaporkan, dalam rangka menegakkan GCG,” kata Taufik.
Dari
manajemen pusat BSM memang tidak bisa melakukan penelitian secara langsung
kredit yang diajukan nasabah. Karena kredit yang diajukan itu sifatnya
perorangan dan nilainya tidak besar, sehingga persetujuan kredit hanya sampai
pada tingkat pimpinan BSM Cabang saja.
Pihak
berwajib mengemukakan alasan mengapa tiga pejabat BSM menjadi tersangka.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, seharusnya ketiga pejabat tersebut yang
merupakan pimpinan dan mempunyai wewenang dapat menegakan SOP yang sudah
berlaku selama ini, tapi yang mereka lakukan malah sebaliknya. Mereka menabrak
aturan yang ada dengan tidak melaksanakan ketentuan kredit dan menerima
pemberian dari debitur, sehingga pejabat bank tidak melaksanakan secara tepat
ketentuan yang sudah ada. Ditambah lagi bekerjasama dalam tindak kejahatan
dengan pihak luar.
Sedangkan
IP, sebagai tersangka dari luar BSM yang menjadi otak kredit fiktif ini dan
sempat menjadi buron polisi, menampung uang hasil kejahatannya yang sebesar
Rp102 miliar ke sejumlah rekening BCA dengan nomor yang berbeda-beda. Setelah
dana dicairkan secara bertahap dari BSM, kemudian langsung dimasukkan ke
rekening BCA. Puluhan buku rekening BCA atas nama dirinya dan orang lain saat
ini sudah disita penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim
Polri.
Pengawasan Lemah
Berulangnya
kasus kejahatan perbankan merupakan bukti fungsi pengawasan internal bank dan
regulator masih bisa dibobol. Baik itu karena standard operating procedure
(SOP) tidak benar-benar berjalan, atau karena ada bagian-bagian tertentu yang
tidak dijalani. Bisa jadi juga karena tidak adanya evaluasi dan monitoring
ketika SOP berjalan.
Sebenarnya
bila melihat modus pembobolan yang terjadi di KCP BSM Bogor, tidak perlu
terjadi bila manajemen peka dan mulai bisa mendeteksi sedini mungkin, sehingga
kerugian tidak membesar. Karena memang bukan modus baru. Tidak jauh berbeda
dengan modus-modus pembobolan sebelumnya. ”Harus dilakukan evaluasi terhadap
sumber daya manusia ataupun mekanisme pengawasannya,” ujar Direktur Eksekutif
Indef Ahmad Erani Yustika.
Ia
mencontohkan, di bagian kredit, bisa dibuat aturan yang memungkinkan rotasi SDM
lebih sering demi mencegah penyelewengan yang melibatkan kalangan internal.
Rotasi SDM akan meminimalisir pihak internal menjalin hubungan erat dengan
pihak luar. ”Saya yakin BI lebih mengetahui detail aturan yang dibutuhkan,”
tambahnya. Menurutnya, Bank sentral mesti mengambil langkah penegakan hukum
yang tegas untuk mencegah kasus-kasus serupa kembali terjadi di masa depan.
”Kalau tidak selesai ya berarti BI gagal, pindah ke OJK, kalau tidak selesai
juga, berarti OJK gagal,” ujarnya.
Sementar
itu, Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono berpandangan, kasus fraud di BSM
merupakan kesalahan oknum. Kasus tersebut tidak bisa dijadikan sebagai gambaran
umum tentang kondisi perbankan saat ini lantaran memang tidak terjadi pada
beberapa bank pada waktu yang berdekatan. ”Kasus tersebut menjadi pelajaran
bahwa harus ada pengawasan internal yang lebih ketat di setiap bank,” ujarnya.
Kasus
pembobolan BSM seharusnya memang bisa dicegah jika bagian manajemen risiko bank
lebih waspada. Kasus-kasus kredit fiktif yang muncul menunjukkan bahwa risiko
operasional dengan sistem manajemen risiko dan reguler tidak berjalan. Sigit
mengatakan, cabang-cabang besar seharusnya lebih sering diperiksa, bisa setahun
dua kali. “Bank juga perlu mewaspadai jika kantor cabang mendadak memiliki
nasabah baru dalam jangka waktu relatif pendek,” ucapnya.
Sementara
itu, Konsultan Hukum BSM Sulistio mengungkapkan, kasus kredit fiktif bisa
menimpa BSM bukan karena sistem bank yang kurang baik. Menurutnya proses
pengucuran pembiayaan di perseroan selama ini cukup ketat. Tetapi tetap saja
kebolbolan. ”Memang tidak mungkin ada sistem yang sempurna, tapi kami terus
berusaha untuk bisa memiliki sistem yang baik. Terungkapnya indikasi kasus ini
justru menandakan early warning system BSM bekerja dengan baik,” ujarnya.
Sementar
itu, deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah mengatakan, regulator masih
mempelajari yang terjadi di BSM, dan hingga kini belum berkesimpulan akan
memberikan sanksi. “Kalau ada kasus semacam ini akan kita teliti terlebih
dahulu,” ujar Halim.
Oleh karena itu, Halim melanjutkan, bank
syariah harus mengetatkan pengawasan. Apalagi BSM adalah berbasis syariah.
“Internal audit harus benar-benar dipastikan berjalan. Bank juga harus
melakukan perbaikan terus menerus,” tutur Halim.
Penegasan Halim itu tidaklah terlalu
berlebihan mengingat apa yang terjadi di Syariah Mandiri itu bisa jadi muncul
pula di bank syariah lain yang pada akhirnya membuat industri perbankan syariah
terpapar risiko reputasi.
Jika demikian citra bank syariah sebagai
lembaga yang aman dan menenangkan menjadi rusak akibat ‘nila yang setitik’ itu.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim
Alamsyah mengatakan karena masih dipelajari yang terjadi dengan BSM, BI belum
berkesimpulan memberikan sanksi.
"Secara hukum itu, begini.. Saya
nggak bisa ngomong nggak etis. Secara umum kalau ada kasus akan kita teliti,"
ujar Halim usai “Media Briefing Gerakan Ekonomi Syariah (gres!)” di kantornya,
Kamis (31/10/2013.
Oleh karena itu, Halim menjelaskan bank
syariah haruslah mengetatkan pengawasan. Apalagi BSM adalah berbasis syariah.
BSM juga diharapkan dapat memperbaiki pengawasan. "Harus ada intern audit
yang berjalan. Bank juga harus melakukan perbaikan, maka akan ada
efeknya," tutur Halim.
Modus pembobolan bank dengan modus
kredit fiktif di BSM Bogor diduga dilakukan Kepala Cabang Utama BSM Bogor, M
Agustinus Masrie yang bekerjasama dengan Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah
Mandiri Bogor, Chaerulli Hermawan dan Accaounting Officer Bank Syariah Mandiri
Bogor John Lopulisa. Mereka berhasil membobol dana nasabah hingga Rp102 miliar.
Caranya dengan membuat proposal kredit
secara fiktif terhadap 197 nasabah dengan potensi kerugian Rp59 miliar.
Sementara seorang debitur bernama, Iyan Permana bertugas membuat proposal
kredit secara fiktif.
Mabes
Polri sudah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini, di antaranya Kepala
Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor M Agustinus Masrie, Kepala Cabang
Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor Chaerulli Hermawan, Accaounting Officer
Bank Syariah Mandiri Bogor John Lopulisa, dan Debitur Iyan Permana.
Pendapat :
Disini
kasus yang terjadi pada Bank Mandiri
Syariah mengenai kredit fiktif saya menarik kesimpulan , bahwa Indikasi ini
ditemukan karena adanya kejanggalan berupa tidak terjadinya pengerjaan proyek
pembangunan perumahan sebagaimana yang diajukan oleh debitur, tetapi dana tetap
dicairkan dengan lancar. Jelas itu sudah melanggar aturan internal perusahaan .
Ini
mengakibatkan lemah nya pemhawasan , seharusnya Kasus pembobolan BSM seharusnya
memang bisa dicegah jika bagian manajemen risiko bank lebih waspada.
Kasus-kasus kredit fiktif yang muncul menunjukkan bahwa risiko operasional
dengan sistem manajemen risiko dan reguler tidak berjalan. Sigit mengatakan, cabang-cabang
besar seharusnya lebih sering diperiksa, bisa setahun dua kali. “Bank juga
perlu mewaspadai jika kantor cabang mendadak memiliki nasabah baru dalam jangka
waktu relatif pendek.
kasus
kredit fiktif bisa menimpa BSM bukan karena sistem bank yang kurang baik.
Menurutnya proses pengucuran pembiayaan di perseroan selama ini cukup ketat.
Tetapi tetap saja kebolbolan. ”Memang tidak mungkin ada sistem yang sempurna,
tapi kami terus berusaha untuk bisa memiliki sistem yang baik. Terungkapnya
indikasi kasus ini justru menandakan early warning system BSM bekerja dengan
baik.
sumber :
*pengembangan kasus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar